Dua malam sudah Janu habiskan dengan gelas-gelas kopi yang telah menjadi kawan setianya untuk mengerjakan laporan akhir yang harus ia kumpulkan pagi tadi. Beruntung saja otaknya mampu diajak bekompromi dengan baik di waktu-waktu yang genting. Malam ini biarkan Janu membalaskan dendam atas waktu tidurnya yang telah tersita habis, hingga ia terbangun karena dering telepon yang memang sengaja dibedakan sendiri, yang tak lain dan tak bukan adalah Nadir. Tanpa pikir panjang, Janu menggeser jarinya di layar untuk menerima panggilan itu.
“Hai.”
Suara lembutnya menyapa hangat gendang telinga Janu. Ia segera menggosok matanya dengan jari telunjuk, berusaha menghilangkan rasa kantuk sesegera mungkin, sebab yang satu ini jauh, jauh lebih penting.
“Hai.”
“Belum tidur kan?”
“Belum kok, ada apa?” ucap Janu sembari bangun dari posisinya untuk menyenderkan punggung ke headboard kasur.
“Nothing, I just missed you.”
Janu menggigit bibir bawahnya, bersusah payah menahan kalimat-kalimat yang memang sebaiknya tersimpan rapat di mulut saja. Ia kemudian melirik ke arah jam bekernya yang telah menunjukkan pukul tiga pagi.
“Di sana masih siang kan? Nggak ada kuliah?”
“I said I missed you, silly.”
Janu menghela napas panjang. Berat rasanya tiap kali mendengar Nadir bertutur manis dengan entengnya, sedangkan ia di sini berusaha mati-matian untuk tidak jatuh pada setiap katanya. He has always been a strong man, but why can’t he when it comes to this guy?
“Okay, Sir. I’m here now. What do you want me to do?”
“I don’t know, coming here?”
Janu dapat mendengar tawanya yang begitu ia rindukan untuk disaksikan secara langsung lewat matanya. The laugh that Janu would die for.
“Just kidding. I’m just eating my lunch now,” sambung yang di seberang sana. Sekarang Janu dapat membayangkan pipi Nadir yang tengah menggembung dengan lucu sambil mengunyah makanannya.
“Alone?”
“Yup.”
“Perasaan kamu makan siang sendiri terus akhir-akhir ini, di sana nggak punya teman?”
“Not as good as you are.”
Janu tersenyum getir, ia bahkan hampir lupa posisinya pun hanya sebagai teman di sini.
“Sometimes I wish you were coming with me, Nu. Living up our dreams, ticking off our wishlist, there are so many things I want to do with you in here, but we’re too far away now and our time difference is killing me. I should hold myself back to not calling you when you’re probably in deep sleep, atau giliran kamu yang kosong, malah akunya yang tidur. It sucks.”
“I know.”
“Our situation would have been different too.”
“Nadir, we already have this conversation before.”
“I know, sorry. Can’t help myself.”
Janu paham betul apa yang dimaksud Nadir, ia pun sama tersiksanya dengan Nadir, tapi Janu jauh lebih ahli dalam hal memendam semuanya sendiri, buktinya ia mampu bertahan di hubungan ambigu ini — lebih dari teman, namun jauh dari sepasang kekasih. Memori Janu seketika membawanya kembali ke malam acara kelulusan mereka di mana Janu saat itu telah berniat untuk menyatakan perasaannya, tetapi semua rencana yang telah ia siapkan dengan matang harus ia urungkan kuat-kuat, sebab Nadir lebih dahulu mengatakan bahwa ia diterima di salah satu universitas impiannya di negeri paman Sam.
Janu kalah lagi, tapi ia senang mengalah untuk Nadir.
“That’s okay. Tadi gimana kelasnya? Seru nggak?
Selain memendam dan mengalah, Janu ini juga pintar cari basa-basi, padahal saat ini ia tengah tersesat dalam pikirannya sendiri. Suara Nadir terdengar sayup-sayup ketika ia menceritakan tentang karya tulisnya yang dipuji oleh dosen di kelasnya, sedangkan Janu sibuk me-recall ingatannya ketika mereka untuk pertama kalinya bertengkar dengan hebat, hingga Janu terpaksa mangkir dari kuliah hari itu karena mata sembabnya.
“Why, Janu? Why can’t we be together? We just have to find a way to make it work. I promise, we can figure it out together. I already have some plans for — ”
“How many times do I have to tell you? It will never work out, Nadir! Cepat atau lambat, we both will eventually get tired of each other, and I’m never ready to face the consequence that I’ll be losing you one day. It’s better if I never have you at all, and you will thank me for this.”
Call him a loser, but that’s how he has always been. And look at what he did to them now, he’s the one who started it, but he doesn’t know how to get both of them out of here.
“Nu?”
“Nu, you still there?”
“Yes, I’m here. I’m always here.”
“Good, because now I will tell you about this cute guy who just asked me out on a date.”
Janu menelan ludahnya yang seketika terasa pahit. Entah sampai kapan mereka, atau mungkin ia sendiri yang harus berputar mengitari lingkaran semu yang tak berujung ini, tapi Janu tidak keberatan. Selama Nadir masih bersamanya, selama ia masih bisa mendengar suaranya, Janu tidak akan keberatan sama sekali.